Danau Toba dan Pulau Samosir
Danau Toba, Sumatra Utara, terletak 70 km di sebelah selatan Medan. Danau Toba adalah danau terbesar di Asia Tenggara dan termasuk danau- danau terdalam di dunia. Danau Toba sesungguhnya merupakan sebuah kawah gunung api/volkanik, sehingga Danau Toba pun merupakan danau volkanik terbesar di dunia. Letusan gunung api Toba merupakan letusan terbesar di dunia dalam 28 juta tahun terakhir, bahkan mungkin yang terbesar dalam sejarah Bumi yang kita ketahui.
Danau Toba berukuran maksimal 100 km x 31 km dengan titik terdalam 529 meter di sebelah utara dekat Haranggaol. Perairan Toba mempunyai luas 1.130 km2, tidak termasuk Pulau Samosir seluas 647 km2 dan pulau-pulau kecil lainnya. Tebing-tebing curam setinggi 400-1.220 m mengelilingi Danau Toba. Tebing-tebing curam ini diyakini merupakan bidang sesar saat terjadi pembentukan kawah volkanik Toba akibat runtuhan.
Gambar 1. Peta citra satelit Danau Toba (wikipedia.org)
Pulau Samosir terletak di dalam Danau Toba. Pulau ini bukan gunung api yang tumbuh di dalam kawah volkanik seperti banyak ditemukan di kawah volkanik lainnya, tetapi bagian puncak Gunung api Toba yang ikut runtuh ke dalam kawah ketika terjadi pembentukan kawah Toba, kemudian terangkat kembali (resurgent cauldron).
Gambar 2. Evolusi pembentukan Gunung api dan kawah/Danau Toba serta Pulau Samosir (van Bemmelen, 1949)
Pulau Samosir berukuran 45 km x 20 km. Pulau ini sebenarnya merupakan semenanjung yang disambungkan oleh tanah genting (isthmus) sepanjang 200 meter dengan wilayah di sebelah barat Danau Toba. Pada tahun 1906, Belanda membangun kanal di tanah genting ini, sehingga Samosir menjadi sebuah pulau.
Sejarah Erupsi Toba
Pengukuran endapan-endapan volkanik berupa tuf di sekitar Danau Toba menunjukkan bahwa Gunung api Toba ternyata telah meletus beberapa kali. Paling tua diketahui dari Tuf Dasit Haranggaol 1,2 juta tahun (Chesner dkk. 1991), kemudian terjadi juga letusan pada 840.000 tahun yang lalu (Diehl dkk., 1987), 501.000 tahun yang lalu (Chesner dkk., 1991), dan letusan terbesar adalah yang terjadi pada 74.000 tahun yang lalu. Berdasarkan umur-umur letusannya, Chesner dkk. (1991) memperkirakan daur letusan besar terjadi setiap 340.000-430.000 tahun sekali.
Tiga letusan/erupsi gunung api terbesar di dunia pada zaman prasejarah maupun sejarah terjadi di Indonesia, yaitu erupsi mega-kolosal Toba 74.000 tahun yang lalu, erupsi Tambora 1815 M, dan erupsi Krakatau 1883 M. Letusan Tambora melontarkan material sebanyak 160 km3, menewaskan 91.000 orang baik langsung maupun tak langsung. Letusan Krakatau melontarkan material 18 km3, menewaskan 36.000 orang terutama akibat tsunami yang dibangkitkan oleh material letusan. Sementara Toba jauh di atas itu, ia melontarkan 2800 km3 material dan mungkin menewaskan 90% penduduk Bumi saat itu (Ambrose, 1998).
Untuk mengukur kekuatan ledakan gunung api, para ahli gunung api telah mengembangkan parameter VEI (volcanic explosivity index). Dari kriteria-kriteria tersebut, maka erupsi Krakatau 1883 M berada pada VEI = 6 (paroxysmal), Tambora 1815 M pada VEI = 7 (colossal), dan erupsi Toba 74.000 tahun yang lalu pada VEI = 8 (megacolossal). Berdasarkan banyak studi, maka frekuensi erupsi dengan VEI ≥ 6, di seluruh dunia terjadi 1 x di dalam 50 tahun; VEI ≥ 7, terjadi 1 x di dalam 450 tahun; dan VEI ≥ 8, terjadi 1 x di dalam 300.000 tahun atau lebih. Batas paling tinggi VEI adalah antara 8 dan 9. Erupsi Toba mungkin merupakan batas itu (Lockwood dan Hazlett, 2010).
Katastrofi Toba
Katastrofi geologi adalah suatu proses geologi yang menyebabkan perubahan sangat besar bagi lingkungan Bumi dan penghuninya, ditandai dengan rusak atau hancurnya lingkungan, kondisi iklim yang tidak menunjang bagi kelangsungan kehidupan, sehingga sebagian besar makhluk hidup mengalami kepunahan dalam skala besar (kepunahan massa/ mass extinction). Dengan terjadinya erupsi Toba dalam skala megakolosal, VEI = 8, yang terbesar di Bumi dalam 28 juta tahun terakhir, maka suatu katastrofi geologi diperkirakan telah terjadi. Kejadian ini secara definitif disebut sebagai “Teori Katastrofi Toba”.
Katastrofi Toba terjadi melalui dua cara, yaitu musim dingin volkanik (volcanic winter) dan punahnya sebagian besar manusia modern yang saat itu sedang bermigrasi keluar dari Afrika (population bottlenecking) (Gibbons, 1993; Rampino dan Self, 1993; Ambrose, 1998)
Musim dingin volkanik terjadi bila banyak abu tersembur masuk ke dalam atmosfer. Kadar asam belerang pun memasuki atmosfer, dan bila abu volkanik terinjeksi lebih tinggi ke dalam atmosfer, maka abu volkanik dan asam belerang tersebut akan tinggal lebih lama di dalam atmosfer. Kejadiannya bisa selama berabad-abad, bahkan ribuan tahun, lalu mereka akan menangkis dan mengubah influks energi matahari ke atmosfer bagian bawah. Manusia modern yang hidup antara 1815-1818 pun menderita akibat letusan Tambora. Bagaimana bila itu terjadi 74.000 tahun yang lalu dan berasal dari sebuah erupsi megakolosal yang puluhan kali lebih kuat daripadaTambora? Maka, mungkin benar, bahwa telah terjadi suatu kepunahan massa.
Letusan Toba 74.000 tyl telah menghasilkan 3 milyar ton abu halus dan aerosol H2SO4 dan SO2 terlontar setinggi 27-37 km menginjeksi atmosfer dan sangat signifikan mengurangi transmisi sinar Matahari ke permukaan Bumi (Rampino dan Self, 1992; Chesner dkk., 1991). Diperhitungkan bahwa transmisi sinar Matahari saat itu hanya 0,001-10 %. Menurunnya daya terima sinar Matahari ini telah menyebabkan temperatur menurun 3-5oC. Saat itu Zaman Es sedang menjelang, dan letusan Toba diyakini telah mempercepat datangnya Zaman Es ini. Toba juga telah melepaskan sebanyak 540 milyar ton air yang naik sampai stratosfer dan dapat mengubah gas belerang yang dilontarkan Toba menjadi 1-10 milyar ton aerosol H2SO4. Posisi Toba di wilayah tropis juga membuatnya lebih efisien untuk abu dan gas dari Toba memasuki stratosfer di kedua belahan Bumi.
Gambar 3. Ilustrasi letusan dilihat dari jarak 42 km (26 mil) di atas Pulau Simeulue (wikipedia.org).
Kemungkinan terjadinya penciutan populasi manusia akibat erupsi mega-kolosal Toba pertama kali dikemukakan oleh Gibbons (1993). Pendapat ini kemudian segera disokong oleh Rampino dan Self (1993). Teori bottleneck ini kemudian dikembangkan oleh Ambrose (1998) dan Rampino dan Ambrose (2000). Menurut para pendukung teori genetic bottleneck, antara 50.000-100.000 tyl, populasi manusia mengalami penurunan yang sangat drastis, dari sekitar 100.000 individu menjadi sekitar 10.000 individu (Gibbons, 1993; Ambrose, 1998). Bukti-bukti genetik juga menunjukkan bahwa semua manusia yang hidup sekarang, meskipun sangat bervariasi, diturunkan dari populasi yang sangat kecil antara 1000-10.000 pasangan sekitar 70.000 tyl.
Setelah genetic bottleneck dan pemulihan kembali, diiferensiasi ras populasi manusia terjadi dengan cepat. Oleh karenanya, diajukan pendapat bahwa Toba telah menyebabkan ras-ras modern berdiferensiasi secara mendadak hanya sekitar 70.000 tahun yang lalu, daripada secara berangsur selama satu juta tahun.
Terjadinya musim dingin volkanik dan Zaman Es yang segera karena letusan Toba dapat menjawab suatu paradoks tentang asal Afrika buat manusia, yaitu: bila kita semua berasal dari Afrika (Out of Africa) mengapa kita semuanya tidak mirip orang Afrika? Karena musim dingin volkanik dan Zaman Es yang segera telah mengurangi populasi sampai tingkat cukup rendah untuk meneruskan efek nenek moyang, lalu terjadi aliran genetik dan adaptasi lokal menghasilkan perubahan cepat pada populasi yang selamat, yang menyebabkan manusia-manusia di seluruh dunia terlihat begitu berbeda. Dengan kata lain, Toba telah menyebabkan ras modern manusia terdiferensiasi secara mendadak (Ambrose, 1998).
Sumber :
- Awang Harun Satyana, 2012, “Toba Big Bang” 74.000 Tahun yang lalu: Katastrofi Geologi, Geomagz Vol 2 No 4
- https://en.wikipedia.org/wiki/Toba_catastrophe_theory
0 komentar:
Post a Comment